Ini kisahku,
pengalamanku, imajinasiku, dan harapanku. Kutuangkan semua dalam suatu buku
“kehidupan”, menurutku. Dengan dibantu sebuah pena dan selembar kertas, jari –
jemari ku memulai aksinya. Menulis sepatah demi sepatah kata, membentuk sebuah
kalimat dan akhirnya menjadi sebuah cerita.
ööö
ari ini merupakan hari yang berbeda untukku. Hari
pertamaku memulai kehidupan SMA. Akhir SMP sudah kuputuskan, tambah tingkatan,
tambah level, ya pastinya tambah pengalaman! “Life is an Adventure”
Begitulah yang ku pikirkan seminggu yang lalu. Tapi,
ini... Apa – apaan? Kehidupan sekolah seperti apa ini? Kenapa bisa ada sistem
bodoh seperti Bullying?? Sebagian
anak beranggapan bullying diterapkan untuk menguji dan melatih mental seorang
anak. Ada juga yang melakukannya untuk bersenang – senang. Dari menyembunyikan
sesuatu, mencuri, atau pun menuduh korban. Tapi, tahukah kalian... Jika banyak kwalitas
anak sekolah menjadi menurun dalam kompetisi dan menjadi lebih sukar
mengeluarkan pendapat bahkan berucap dan berkomunikasi dalam kondisi biasa?
“Hey, si Muram! Sudah muram tambah melamun! Jelek
banget!” Ucap teman sekelas yang duduk di depanku.
Aku paling malas berurusan dan menghiraukan tipe orang
seperti itu. Lagipula, bingung juga baiknya jawab apa untuknya. Jawab ini atau
itu atau apapun juga pasti akan salah.
“Batu banget! Gue nanya lu kacangin. Suram banget sih
lu!” lanjutnya kesal dengan nada tinggi.
“Udeh lah.. Mel, elu ngomong ape juga kaga bakal
didengerin sama tu orang bego! Entar malah lu ketularan suram gara – gara marah
sia – sia ke dia!” ucap temannya .
Ini permulaan masa SMA, tapi untuk menjalani 3 tahun di
SMA ini, apa aku bisa? Kenyataannya lebih susah dari sinetron atau cerita
fiksi. Apakah keajaiban itu ada?
“Akh sial!” gerutuku di kamar.
Besok ulangan – ulangan harian mulai berdatangan, tapi
jangankan belajar, keinginan untuk masuk pun tidak ada. Padahal saat SMP,
belajar dan membaca adalah hobiku. Mungkin juga pengaruh Ibu yang seorang guru
dan Ayah yang seorang Journalis.
“Tasya, Kamu belum tidur, nak? Besok ‘kan kamu
berangkat pagi. Belajarnya sudah dulu lah.”
Kata Ibu.
Saat Ibu yang tidak tahu kenyataannya berkata begitu, aku
merasa sangat bersalah padanya. Bagaimana aku bilang padanya? Apa reaksinya
nanti jika Ibu tahu aku menjadi objek Bullying?
Ditambah perasaan malu pada adikku yang selalu mengagumiku. Hatiku sesak saat
berpikir masa depanku nanti. Aku anak sulung, Ayah bilang dalam pertandingan
sepak bola, aku adalah penyerang sekaligus keeper,
masa depanku menentukan masa depan keluarga dan masa depan adikku.
Lalu, hasil ulangan pun dibagikan. Seperti yang ku duga sebelumnya,
nilai ku down. Menyebabkan Ayah
marah. Kehidupanku terasa diuji.
Bagian paling enak dari SMA ini, tempat menenangkan untuk
makan siang jam Istirahat tanpa diketahui oleh teman – teman satu kelas.
(¯¯¯¯...¯) ‘Lho? Tumben ada
SMS..’ Pikirku curiga.
“Temui Kami di Kebun sekolah untuk
piket bersama”
|
‘Teman sekelas? Oh, mungkin ini yang mereka bicarakan
tadi. Piket bersama ya?’
Aku segera menuju kebun dengan senang. Kupikir mungkin
aku akan dapat memperbaiki ‘hubungan teman’ dengan mereka.
”Lho? Belum ada yang datang? Apa mereka masih istirahat?
Ya, sudah. Aku bersihkan duluan..”
(...trek) Aku menoleh. Pintu kebunnya tertutup? Padahal
tadi tidak kututup. Aku berjalan cepat menuju pintu. Dengan perasaan deg –
degan, aku menarik gagang pintu. Aku terkejut dan terhentak. Pintunya
dikunci??? Aku menghela nafas untuk sabar. Aku dikerjai lagi? Tak lama kemudian
ada suara benda jatuh dari pohon dan kali ini tidak mungkin aku dapat bersabar,
aku menjerit dan berteriak. Air mataku mengalir. Phobiaku kambuh. Ular! Meskipun hanya bercanda, ini jelas
keterlaluan! Lalu, penjaga kebun yang panik langsung membuka pintu kebun dan
berlari ke arahku. Aku tak mampu berkata apa pun. Aku keluar kebun dengan
lemas. Di depan pintu keluar kebun, 8 orang teman sekelasku tertawa terbahak –
bahak. Aku tak dapat menahan emosiku, tapi juga tidak bisa meluapkan amarahku.
ööö
ku berlari sekencang – kencangnya, mengambil tas ku.
Esoknya, Aku tidak datang ke sekolah. Aku bejalan – jalan tanpa tahu dimana dan
mau kemana. Tujuanku adalah menghindar sejauh mungkin dari sekolah. Aku
terkesima dengan pemandangan yang ada. Di suatu tempat yang agak terpencil. Hebat!
Seakan ada di dalam Alice in wonderland.
(Prak) Sebuah buku terjatuh di sampingku. Tidak mungkin
itu seperti Death note ‘kan.
Mustahil. Apa isinya? Oh... Diary ya?
Haa... ! Mengecewakan... ! Kalau benar ada keajaiban. Semoga bisa menjadi orang
lain saja. Menghapus namaku. Sehingga tidak ditemukan oleh mereka.
“Waaa... !!” teriakku kaget. Cahaya panas keluar dari
buku itu. Apa sebenarnya itu? Perlahan cahaya tersebut menghilang. Syukurlah
tidak terjadi apa – apa... ku usap keningku yang berkeringat. Cahaya matahari
menembus tubuhku. Aku kembali dibuat terkejut! Bagaimana tubuhku menjadi transparan
begini? Aku panik. Tidak tahu apa yang terjadi. Aku Istighfar terus – menerus. Dan berdo’a pada-Nya. Tubuhku kembali
normal. Aku pulang ke rumah. Ibuku pasti telah khawatir. Menungguku pulang.
“Assalamualaikum, bu... Tasya pulang!”
“Wa’alaikumsalam... Tasya...” Ibu melirik dengan heran.
Aku diam dengan reaksi dan tatapan Ibu yang seolah melihat orang asing.
“Siapa kamu?” tanya Ibu bingung. Suaraku tertahan.
Diantara bingung dan panik. Ibu bukan tipe orang yang suka bercanda. Tidak
mungkin dia membuat lelucon seperti ini. Lalu, seorang anak perempuan sebaya
denganku masuk menghampiri.
“Assalamualakum, Ibu ada tamu,ya? Maaf Tasya telat. Tadi,
Tasya beli buku Psikologi terbaru.” Ucap anak itu.
Aku terdiam membatu. Aku ketakutan. Tanpa sadar aku
berlari. Berlari dari rumahku sendiri? Tidak dikenali oleh Ibuku sendiri? Siapa
anak itu? Siapa sebenarnya aku? Siapa namaku?
Aku menangis sepanjang jalan. Tidak tahu apa yang akan
kulakukan. Tidak tahu apa yang sedang terjadi.
ööö